Prosedur Sanksi Perjanjian Kredit Dengan Jaminan Fidusia Bagi Awam

Mungkin anda sudah memahami seluk beluk dilema perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, dalam relevansinya dengan bahan aturan eksekusi, sebagai bab dari aturan program perdata pada umumnya.

Tidak banyak dibahas segi-segi teoritis aturan perjanjian kredit dengan forum jaminan fidusia secara mendalam.

Saya akan membahas hal yang lebih menitik beratkan pada substansi mekanisme sanksi dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia dan aneka macam permasalahannya dalam praktik pelaksanaan sanksi di Pengadilan Negeri.

Prosedur Eksekusi Perjanjian Kredit dengan Jaminan Fidusia


1. Aspek Hukum Jaminan Fidusia

Istilah fidusia berasal dari bahasa Belanda, yaitu fiducie, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut fiduciary transfer of ownership, yang artinya kepercayaan.

Didalam aneka macam literatur, fidusia lazim disebut dengan istilah eigendom overdract (FEO), yaitu penyerahan hak milik berdasarkan atas kepercayaan (H. Salim HS., Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan Pertama, juli, 2004, hal. 55).

Jaminan Fidusia, tidak diatur dalam KUHPerdata (BW). Akan tetapi, tumbuh dari kebutuhan praktik dikuatkan/disahkan oleh yurisprudensi dan Undang-Undang.

Di Indonesia berdasarkan Putusan Hoog Gerechtshof tanggal 18 Agustus 1932 antara Bataafsche Petroleum Maatschappij melawan Pedro Clignett.
 Mungkin anda sudah memahami seluk beluk dilema  Prosedur Eksekusi Perjanjian Kredit dengan Jaminan Fidusia Bagi Awam
Jaminan Fidusia, merupakan aturan inovasi hakim sebagai ekspansi (uitbouw) terhadap aturan gadai (pandrecht), alasannya yaitu itu ada yang menamakannya sebagai gadai yang diperluas (verruind pand) atau gadai semu (oneigenlijk pand).

Menurut Boedi Harsono, sebagai jaminan atas tanah selain hipotik sudah berlangsung semenjak masa Hindia Belanda.

Selanjutnya dikatakan bahwa, di masa Hindia Belanda ada tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak yang memenuhi syarat untuk dijadikan jaminan kredit, tetapi tidak sanggup dipakai hipotik, alasannya yaitu oleh Undang-Undang tidak ditunjuk sebagai obyek hipotik.

Sebagai pola hak-hak Grant Sultan di Sumatera Timur.

Mahkamah Agung sendiri menertibkan dan meluruskan kembali penggunaan forum fidusia yang berdasarkan riwayatnya semula memang hanya dipakai sebagai jaminan yaitu benda bergerak.

Namum dalam praktiknya, terus berkembang sehingga seringkali juga memakai jaminan benda-benda tetap (tidak bergerak), terutama tanah yang tidak sanggup dijaminkan dengan forum hipotik atau hak tanggungan.

Akhirnya untuk mengeleminir aneka macam permasalahan yang timbul, maka Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan dan telah menjadi yurisprudensi tetap, yakni Putusan No. 372 K/Sip/1970 tanggal 1 September 1971 yang menetapkan bahwa fidusia hanya berlaku untuk benda bergerak saja.

UU No. 42 tahun 1999 perihal Jaminan Fidusia

Mengingat kebutuhan praktik yang sangat besar dan terus meningkat, maka diundangkannya undang-undang jaminan fidusia Nomor 42 tahun 1999 perihal Fidusia, yang memperlihatkan kepastian aturan mengenai pemberian kredit dengan jaminan benda bergerak yang masih dalam penguasaan debitor atau pemberi fidusia.

Pasal 1 ayat (1) UU No. 42 Tahun 1999

Fidusia yaitu “Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Diartikan dengan pengalihan hak kepemilikan yaitu pemindahan hak dari pemberi fidusia kepada peserta fidusia atas dasar kepercayaan, dengan syarat bahwa benda yang menjadi obyeknya tetap berada ditangan pemberi fidusia.

Pasal 1 angka 2 UU No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia

Jaminan fidusia yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak sanggup dibebani hak tanggungan sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang nomor 4 Tahun 1996 perihal hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memperlihatkan kedudukan yang diutamakan kepada peserta fidusia terhadap kreditor lainnya.

Unsur-unsur jaminan fidusia yaitu :

  1. Jaminan fidusia yaitu agunan untuk pelunasan utang ;
  2. Utang yang dijamin jumlahnya tertentu ;
  3. Obyek jaminan fidusia yaitu benda bergerak berwujud maupun tidak berwujud (dan benda tidak bergerak, khususnya bagunan yang tidak dibebani hak tanggungan). Ini berkaitan dengan pembebanan jaminan rumah susun ;
  4. Benda menjadi obyek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia berdasarkan kepercayaan ; dan
  5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor.

Sifat jaminan fidusia :

  1. Bersifat accesoir,
  2. Bersifat droit de suite,
  3. Memberikan hak preferent,
  4. Jaminan fidusia menjamin utang yang telah ada atau akan ada yang sudah diperjanjikan.
  5. Jaminan Fidusia sanggup menjamin lebih dari satu utang.
  6. Jaminan Fidusia memiliki kekuatan eksekutorial.
  7. Jaminan Fidusia memiliki sifat spcialitas dan publisitas.
  8. Jaminan Fidusia berisi hak untuk melunasi hutang.
  9. Jaminan Fidusia mencakup hasil benda yang menjadi obyek jaminan Fidusia dan klaim asuransi.

2. Pemahaman Umum Eksekusi Dan Eksekusi Jaminan Fidusia

Semula sanksi jaminan benda yang dijaminkan untuk pelunasan utang tersebut, harus melalui somasi ke Pengadilan Negeri. Eksekusi dilakukan berdasarkan Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan aturan tetap.

Atas Eksekusi Jaminan Fidusia, disadari hal ini memerlukan waktu, tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, Undang-undang memperlihatkan pengecualian kreditor sanggup melaksanakan sanksi melalui pelelangan umum atau dibawah tangan atas dasar kekuasaan sendiri.

Eksekusi Jaminan Fidusia, berdasarkan akta jaminan Fidusia yang dicantumkan kata-kata : “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan aturan tetap.

Cara untuk mengeksekusi benda jaminan fiducia :

  1. Pelaksanaan titel eksekutorial oleh peserta fidusia, tanpa perantaraan Pengadilan.
  2. Penjualan obyek jaminan fidusia atas kekuasaan peserta fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan dari hasil penjualan, dan
  3. Penjualan di bawah tangan berdasarkan kesepakatan pemberi dan peserta fidusia bila sanggup diperoleh harga yang tertinggi yang menguntungkan para pihak. Dilakukan sehabis liwat waktu 1 (satu) bulan semenjak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi dan peserta fidusia kepada pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di tempat yang bersangkutan

Eksekusi benda jaminan fidusia oleh pelaksana atau tanpa perantaraan didalam proses pengadilan, akan menjadikan permasalahan-permasalahan, yakni antara lain:
  1. Pencegahan lelang atau penghapusan oleh Pengadilan Negeri terhadap lelang yang dilakukan kantor lelang, Misalnya, hasil penjualan di bawah limit, obyek jaminan milik suami dan atau isterinya dll. yang diajukan dalam suatu masalah somasi di Pengadilan Negeri.
  2. Hambatan pelaksanaan sanksi jaminan fidusia oleh alasannya yaitu adanya tindakan dari Pengadilan terhadap obyek jaminan fidusia.
  3. Obyek jaminan fidusia yang ternyata dijadikan barang bukti dalam masalah pidana.

Peran Pengadilan Dalam Eksekusi

Eksekusi intinya yaitu pelaksanaan Putusan pengadilan, yang merupakan tahap simpulan dari suatu proses penyelenggaraan kiprah peradilan.

Tugas Pengadilan
  1. Menyelenggarakan peradilan guna menegakkan aturan dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. (Pasal 1 UU No. 4 tahun 2004).
  2. Dalam mengusut dan mengadili masalah (termasuk dalam pelaksanaan eksekusi) mewujudkan kebenaran dan keadilan (to enforce The truth Justice) menemukan keadilan berdasarkan aturan (legal justice) yaitu suatu keadilan yang diwujudkan berdasarkan sistem aturan yang dianut (according to legal system).
  3. Keadilan yang lahir dari proses peradilan sesuai dengan aturan program yang berlaku (due process) dan sesuai dengan ketentuan aturan materil yang terdapat dalam Undang-Undang, kebiasaan, kepatutan dan kemanusiaan.
  4. Proses peradilan bukanlah semata-mata menemukan keadilan moral (not moral justice) yang lepas dari kaitan penyelesaian masalah dan ataupun sistim aturan yang dianut.
  5. Keadilan harus didasarkan atau memperhatikan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang dan juga memperhatikan azas-azas moral, kepatutan dan prinsip-prinsip dasar keadilan di tengah-tengah masyarakat.
  6. Suatu masalah yang diajukan pada suatu tubuh peradilan, pada hakikatnya yaitu untuk mendapat pemecahan dilema dan ataupun penyelesaian masalahnya secara cepat, transparan dan adil.
  7. Pemeriksaan masalah memang diakhiri dengan suatu Putusan, akan tetapi dengan telah dijatuhkannya suatu Putusan, bukan berarti telah selesai pokok permasalahan yang dipersengketakan.
  8. Putusan tersebut, masih harus dilaksanakan atau dijalankan.
  9. Putusan harus memiliki kekuatan eksekutorial, yaitu “kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam Putusan itu secara paksa oleh alat-alat negara”
  10. Adanya irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
  11. Akan tetapi, hanya suatu Putusan yang bersifat penghukuman (condemnatoir) yang sanggup dilaksanakan secara paksa.
  12. Putusan declaratoir dan constitutif  tidaklah memerlukan sarana-sarana pemaksa untuk melaksanakannya.

3. Dasar Hukum Eksekusi Dan Penerapan Eksekusi Jaminan Fidusia

Eksekusi diatur aturan acara  perdata (Pasal 195 HIR sampai dengan Pasal 224 HIR bandingkan dengan Pasal 206 hingga dengan 258 Rbg). Eksekusi jaminan fidusia diatur dalam Bab V UU No. 42 Tahun 1999 perihal Jaminan Fidusia).

Disamping itu, diatur pula sanksi untuk menjalankan perbuatan aturan tertentu dan ataupun suatu Putusan yang sanggup dijalankan secara serta merta (seketika) (uit voerbear bij vooraad).

Mahkamah Agung dalam kedudukan dan fungsinya sebagai pengawas jalannya peradilan yang tertinggi, mengeluarkan sejumlah Surat Edaran dan ataupun Peraturan sebagai aliran untuk pelaksanaan suatu eksekusi.

Untuk memenuhi kebutuhan dalam praktik peradilan, sering kali dipergunakan RV. Dalam pelaksanaannya, sanksi juga harus memperhatikan ketentuan perturan perundang-undangan yang lain berdasarkan konteksnya.

4. Asas-asas Hukum Eksekusi

Menurut H.R Purwoto S. Gandasubrata yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan sanksi :
  1. Eksekusi dijalankam atas Putusan pengadilan yang sudah berkekuatan aturan tetap, apabila tereksekusi tidak melaksanakan Putusan secara sukarela, kecuali Undang-undang memilih lain, contohnya berdasarkan pasal 180 HIR/191 Rbg dimana suatu Putusan dinyatakan sanggup dilaksanakan secara serta merta atau suatu tuntutan provisi dikabulkan.
  2. Yang dihukum yaitu amar Putusan yang bersifat penghukuman (comdemnatoir), sedangkan Putusan yang bersifat konstitutif dan deklaratoir tidak memerlukan eksekusi.
  3. Eksekusi dilakukan atas perintah dan dibawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan, dilaksanakan oleh Panitera dan Jurusita dengan pertolongan alat kekuasaan negara dimana diperlukan.
  4. Eksekusi dilaksanakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, secara terbuka dan diusahakan supaya perikemanusiaan dan perikeadilan tetap terpelihara.
Jenis-jenis Eksekusi :
  1. Eksekusi untuk membayar sejumlah uang. Prestasi yang diwajibkan yaitu membayar sejumlah uang. 
  2. Eksekusi untuk melaksanakan suatu perbuatan. Orang-orang tidak sanggup dipaksakan untuk memenuhi prestasi yang berupa perbuatan. Akan tetapi, pihak yang dimenangkan sanggup minta kepada tubuh peradilan supaya kepentingan yang akan diperolehnya dinilai dengan sejumlah uang.
  3. Eksekusi riil, yaitu pelaksanaan Putusan yang menuju kepada hasil yang sama menyerupai apabila dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang bersangkutan.

5. Prosedur Eksekusi Dan Ketentuan Pelaksanaan Jaminan Fidusia

Manakala termohon sanksi tidak mau secara sukarela mentaati amar Putusan pengadilan, maka pemohon sanksi mengajukan permohonan sanksi kepada Ketua Pengadilan Negeri sehabis membayar panjar biaya sanksi kepada kepaniteraan Pengadilan Negeri, yang kelak biayanya akan dibebankan kepada tereksekusi.

Ketua Pengadilan Negeri menciptakan surat tegoran/peringatan kepada tereksekusi, supaya dalam waktu 8 (delapan) hari tereksekusi memenuhi sendiri amar Putusan pengadilan.

Bila dalam jangka waktu itu tereksekusi tidak memenuhi Putusan pengadilan, maka Ketua Pengadilan Negeri menciptakan surat perintah sanksi dengan Penetapan sanksi untuk dilaksanakan oleh panitera dan jurusita.

Eksekusi Putusan pengadilan dilaksanakan oleh panitera dan jurusita, bila perlu dengan pertolongan alat kekuasaan Negara. Segala biaya masalah dan biaya sanksi dibebankan kepada tereksekusi.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel