Ancaman Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan Dari Aspek Aturan Di Indonesia

Awambicara.id - Masih hangat diberitakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) divonis bersalah dan melaksanakan perbuatan melawan aturan sehingga terjadi kebakaran hutan. 

 Masih hangat diberitakan Presiden Joko Widodo  Ancaman Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan dari Aspek Hukum di Indonesia

Kasus yang bermula ketika terjadi kebakaran hutan ahli pada 2015 yang lalu, dan salah satu yang dilanda kebakaran hutan tersebut diwilayah Kalimantan. 

Karena itu, sekelompok masyarakat menggugat negara, yakni Arie Rompas, Kartika Sari, Fatkhurrohman, Afandi, Herlina, Nordin dan Mariaty.

Mereka bertujuh menggugat:

1. Presiden Republik Indonesia
2. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia
3. Menteri Pertanian Republik Indonesia
4. Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia
5. Menteri Kesehatan Republik Indonesia
6. Gubernur Kalimantan Tengah
7. Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah.

Pada tanggal 22 Maret 2017, somasi mereka dikabulkan dan PN Palangkarya yang mengadili masalah tersebut memutuskan:
  1. Menyatakan para tergugat telah melaksanakan Perbuatan Melawan Hukum.
  2. Menghukum Tergugat I (Presiden) untuk menerbitkan Peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 wacana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penting bagi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, dengan melibatkan tugas serta masyarakat.
Baca: Pengertian Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum

Atas putusan pengadila tingkat pertama tersebut, Jokowi dkk pun mengajukan banding. 

Namun lagi-lagi Pengadilan Tinggi Palangkaraya yang menyidik dan mengadili masalah tersebut dalam tingkat banding, menolak permohonan banding dari Jokowi, dkk dan menguatkan Putusan Pengadilan Negeri Palangkaraya Nomor 118/Pdt.G.LH/ 2016/PN.Plk tanggal 22 Maret 2017.

Tidak puas, dan tetap tidak mendapatkan putusan dalam dua tingkat peradilan tersebut, Presiden Jokowi, dkk kembali mengajukan upaya aturan kasasi. 

Seperti dilansir di situs direktori putusan Mahkamah Agung RI, permohonan Kasasi dari Jokowi, dkk di "Tolak".

Putusan dengan nomor masalah pada tingkat kasasi 3555 K/PDT/2018 diputus pada 16 Juli 2019. Dengan ketua majelis hakim tingkat kasasi Nurul Elmiyah dengan anggota Pri Pambudi Teguh dan I Gusti Agung Sumanatha.

Ancaman Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan


“Dan janganlah kau berbuat kerusakan di bumi sesudah (diciptakan) dengan baik. Berdo’alah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. "

Sesungguhnya rahmat Allah sangat bersahabat kepada orang yang berbuat kebaikan. 

Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa kabar gembira, mendahului kedatangan rahmat-Nya (hujan), sehingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu tempat yang tandus, kemudian Kami turunkan hujan di tempat itu. 

Kemudian Kami tumbuhkan dengan hujan itu banyak sekali macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang yang telah mati, mudah-mudahan kau mengambil pelajaran. 

Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya subur dengan izin Tuhan; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya yang tumbuh merana. 

Demikianlah kami menjelaskan berulang-ulang gejala (kebesaran Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.(Q.S. Al-A’raf ayat 56-58).

Ancaman Terhadap Pelaku Pembakaran Hutan dari Aspek Hukum yang berlaku di Indonesia

Hutan merupakan serpihan lingkungan hidup alami yang mutlak dalam kehidupan manusia, dengan kata lain, hutan tidak sanggup terlepas dari kehidupan insan kebanyakan. 

Hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak sanggup dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. 

Kebutuhan hidup manusia, masakan dan minuman berasal dari sumber-sumber yang diberikan oleh hutan sebagai serpihan sumber terpenting dalam mempertahankan eksistensi hidup manusia. 

Hutan yang merupakan karunia Tuhan, berfungsi sebagai penyangga ekosistem kehidupan yang mempunyai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial yang tinggi bagi kehidupan umat manusia.

Ketiga fungsi itu akan memberi bantuan optimal bagi kehidupan insan awam. Ketiganya berada pada posisi yang seimbang dalam tata lingkungan yang lestari.

Namun, kenyataan yang terjadi sebaliknya. Hutan tak dipandang lagi sebagai penyangga eksositem kehidupan insan yang mempunyai multiple fungsi.

Melainkan sebagai sumber tragedi akhir ulah beberapa oknum tidak bertanggung jawab yang melaksanakan pembukaan lahan dengan melaksanakan pembakaran hutan. 

Dalam waktu beberapa tahun terakhir ini, beberapa tempat di Indonesia, tak terkecuali Bangka Belitung, disibukkan oleh kabut asap. Kabut asap menjadi momok yang angker bagi masyarakat. 

Dampak yang ditimbulkan bukan hanya dari aspek ekonomi dan sosial saja menyerupai terhambatnya kemudian lintas penerbangan diudara, bahari maupun didarat, melainkan aspek utama setiap insan yakni hak untuk hidup.

Baca: Pelakus yang Melakukan Tindak Pidana Namun Tidak di Pidana

Karena kebutuhan hidup utama insan yaitu udara yang segar serta sumber daya pangan yang baik diberikan oleh hutan sebagai lingkungan hidup alami. 

Dengan terpenuhinya hak untuk hidup yang layak maka akan baik pula atas hak-hak lainnya, menyerupai hak atas kesehatan, hak atas ekonomi, hak atas sosial budaya. 

Bicara data dari Dinas Kesehatan Provinsi Bangka Belitung, sebanyak 13.890 warga Bangka Belitung (Babel) pada bulan September 2015 mengalami sakit inpeksi susukan pernapasan akut (ISPA) akhir asap.

Ini tentunya tetap akan bertambah lantaran data terakhir Penulis sekitar 20.000 warga Bangka Belitung terkena ISPA.

Bahwa sesungguhnya Pasal 28H ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada Pemerintah bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Penulis beropini bahwa merupakan pelanggaran serius jikalau Pemerintah yang menjalankan pemerintahan tidak bisa menawarkan hak sebagaimana tertuang dalam Pasal 28H ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945 kepada rakyatnya.

Dan itu sanggup dikategorikan sebagai salah satu bentuk inkonstitusional Pemerintah terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Lalu bagaimana bahaya pidana terhadap pelaku yang melaksanakan pembakaran hutan atau lahan ini? 

Ada 3 (tiga) dasar aturan yang mengatur mengenai bahaya pidana terhadap pelaku pembakaran hutan dan lahan. 

Pertama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 wacana Kehutanan


Pasal 78 ayat (3) menyebut, pelaku pembakaran hutan dikenakan hukuman kurungan 15 tahun dan denda maksimal Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah), dan dalam.. 

Pasal 78 ayat (4) menyebut, pelaku pembakaran hutan dikenakan hukuman kurungan 5 tahun dan denda maksimal sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu koma lima miliar rupiah). 

Kedua, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 wacana Perkebunan


Pasal 108 menyebutkan: Setiap Pelaku Usaha Perkebunan yang membuka dan/ atau mengolah lahan dengan cara aben sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara usang 10 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). 

Ketiga, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 wacana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup


Pada Pasal 108 menyebutkan, seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan hukuman minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun serta denda paling sedikit Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milar rupiah).

Selain bahaya pidana di atas, juga bisa dikenakan somasi perdata (seperti yang terjadi pada masalah joko widodo diatas).

Baca: Pengertian Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Indonesia

Mengutip pernyataan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya: “bahwa harus ada penegakan aturan paralel. 

Artinya, suatu pihak yang dijadikan tersangka oleh kepolisian dalam aturan pidana, bisa dikenai hukuman administratif dan somasi perdata oleh pemerintah. 

Sanksi administratif tersebut yakni paksaan penghentian kegiatan, membekukan ijin usaha, hingga pencabutan izin usaha”.

Sedangkan jikalau pelaku/ tubuh perjuangan (baca; Perusahaan) pencemaran dan/ atau perusakan lingkungan hidup sanggup digugat oleh Pemerintah/ masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup.

Yang jikalau terbukti melaksanakan perbuatan melanggar aturan sebagaimana dalam Pasal 87 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 wacana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka sanggup dipastikan pelaku tersebut wajib membayar ganti rugi dan/ atau melaksanakan tindakan tertentu.

Namun, apakah melalui bahaya pidana beserta somasi perdata tersebut tidak menciptakan pembakaran hutan berulang kembali?

Oleh lantaran setiap tahunnya, masalah pembakaran hutan sudah menyerupai aktivitas tahunan yang terus-menerus menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, pegawapemerintah penegak aturan dan masyarakat. 

Dalam hal ini diharapkan sinergi yang terpadu antara pihak-pihak yang bertindak sebagai subjek pengelolaan lingkungan hidup, diantaranya negara (stick holder), swasta (corporation), dan masyarakat (civil society). 

Pihak-pihak tersebut mempunyai kaitan peranan (role) dan tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup.

Hubungan antara pemerintah, pegawapemerintah penegak aturan dengan masyarakat awam dalam pengelolaan lingkungan hidup saling berkaitan satu sama lain. 

Tentu pada posisi ini setiap pihak harus ditempatkan pada posisi yang sempurna sesuai dengan hak dan kewajiban.

Misalnya kedudukan pemerintah sebagai organisasi yang mempunyai wewenang untuk tetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, dan penggunaan lingkungan hidup sesuai dengan fungsinya. 

Kedudukan pegawapemerintah penegak aturan yang mempunyai peranan yang ideal dan seharusnya, dimana peranan tersebut yaitu serpihan dari amanah undang-undang. 

Sebagaimana peranan yang sebetulnya atau peranan yang aktual. 

Jelas bahwa hal itu menyangkut sikap nyata dari para pelaksana peranan, yakni para penegak aturan dalam menerapkan peraturan perundang-undangan. 

Aparat penegak aturan mempunyai peranan yang sangat penting dalam penegakan peraturan perundang-undangan.

Baca: Contoh Gugatan Wanprestasi

Sedangkan masyarakat awam/ swasta yang bersentuhan secara pribadi dengan lingkungan hidup sanggup menjaga dan melestarikan sesuai dengan kapasitas dan daya dukung yang ada dengan tidak menyalahgunakan izin yang telah diberikan.

Namun demikian selain sanksi-sanksi tersebut diatas, Agama juga melarang insan untuk merusak lingkungan termasuk aben hutan.

Allah SWT berfirman dalam Quran Surat Ar-Ruum ayat 41: “Telah nampak kerusakan di darat dan di bahari disebabkan lantaran perbuatan tangan manusia, supaya Allah mencicipi kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, biar mereka kembali (ke jalan yang benar)”.

Semoga kita tidak lagi merusak lingkungan dengan cara apapun juga, jangan hingga kita masuk penjara didunia, dan mendapatkan azab dari Allah SWT diakhirat nanti; (RizalF)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel