Ancaman Pidana Pelaku Penghinaan, Penistaan Atau Memfitnah Orang Lain Di Indonesia

Pasal 310 kitab undang-undang hukum pidana - Ada pepatah menyebutkan “Mulutmu harimaumu”, ada lagi yang menyebutkan “lidah lebih tajam daripada pedang”.

Pepatah itu suka atau tidak suka masih relevan dengan kondisi kini ini.

 Pepatah itu suka atau tidak suka masih relevan dengan kondisi kini ini Ancaman Pidana Pelaku Penghinaan, Penistaan atau Memfitnah Orang Lain di Indonesia
Banyak sekali ditemukan masalah di aneka macam Pengadilan seseorang dieksekusi hanya lantaran orang tersebut menghina orang lain maupun memfitnah orang lain baik secara verbal maupun tulisan-pasal 310 kuhp.

Apalagi dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang pesat termasuk perkembangan media sosial, baik itu Facebook, WhastApp, Instagram, Twitter, YouTube, Line dan masih banyak lagi yang lainnya.

Teknologi Informasi media umum yang sedemikian pesat hendaknya dipakai sebijaksana mungkin apalagi sebagian masyarakat awam kita masih “pemula” dalam memakai media sosial, lantaran media umum cenderung disalahgunakan.

Baca: Pelaku Tindak Pidana Namun Tidak di Pidana

Ancaman Pidana Bagi Pelaku Penghinaan, Penistaan, atau Memfitnah Orang Lain Menurut Hukum yang Berlaku di Indonesia


Salah satunya yang paling faktual ialah media untuk menghina, memfitnah, memposting sesuatu yang memuat penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik atau menjadikan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/ atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA);

Sebagai pola kasusnya ialah Muhammad Arsyad seorang PNS asal Makassar.

Dalam pemilihan Walikota Makassar tahun 2013 adik dari Nurdin Halid yaitu Kadir Halid merupakan salah satu yang ikut mencalonkan berpasangan dengan Supomo.

Muhammad Arsyad memberikan ketidaksukaannya terhadap pencalonan Kadir Halid, Muhammad Arsyad kemudian  menuliskan ”No Fear bahaya Nurdin Halid Koruptor!!!! Jangan pilih adik koruptor!!! Pada status Blackberry Messenger (BBM) milik Arsyad.

Status tersebut berbuntut Penetapan dirinya sebagai Tersangka.

Adalagi masalah Florence Sihombing seorang mahasiswi Kenotariatan UGM yang menciptakan status di jejaring sosial Path yang dinilai menghina warga Yogyakarta dengan menciptakan status:

“Jogja miskin, tolol, miskin dan tak berbudaya, teman-teman Jakarta, Bandung jangan mau tinggal di Jogja”;

Kapolri Jenderal Badrodin Haiti telah megeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/ 06/ X/ 2015 wacana Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech), Surat edaran itu diberlakukan 8 Oktober 2015.

Untuk mencegah terjadinya konflik di masyarakat ibarat pelaku penyebar kebencian, pelaku penyebar informasi bohong, pencemaran nama baik, penghinaan dan memfitnah orang lain atau kelompok tertentu serta melindungi anggota Polisi dalam menegakkan aturan bagi pelaku penebar kebencian.

Baca: Pengertian Advokat, Pengacara, Penasehat Hukum dan Konsultan Hukum

Berdasarkan situs kabarmakkah.com bahwa Polisi Republik Indonesia ketika ini sedang memburu 180.000 akun facebook penyebar kebencian dan fitnah;

Penghinaan termasuk ke dalam penyerangan terhadap kehormatan/ marwah seorang  manusia.

Cukup sulit untuk mendapat batasan atau definisi dari penghinaan yang sanggup diterima secara luas baik oleh masyarakat maupun kalangan akademisi apalagi praktisi hukum.

Karena pada dasarnya penghinaan ialah tindakan seseorang (subyek hukum)  terhadap orang lain (subyek hukum) lainnya dengan cara yang subyektif dan bersifat subjektif pula.

Artinya dengan sebuah tindakan yang sama sanggup saja seseorang tersinggung sedangkan seorang yang lain bersikap biasa-biasa saja.

Pada dasarnya tindak penghinaan ialah sebuah tindakan atau perilaku yang sengaja melanggar nama baik atau menyerang kehormatan seseorang (beleiding is op te vatten als:het opzettelijk aanranden van iemands eer of geode naam. J.M. v. Bemmelen-W.F.C. v. Hattum, 1954, hal 488; D.Simon-W.P.J.Pompe.II,1941,hal.55).

Sebagaimana halnya ketentuan dalam Pasal 310 KUHP, defamation sanggup dilakukan secara tertulis maupun lisan.

Juga dirumuskan bila penghinaan berkenaan dengan kepentingan umum (public concern) maka Penggugat harus menerangkan baik ketidakbenaran pernyataan tersebut maupun kesalahan tergugat.

Dalam tradisi Common Law System penghinaan sanggup dikonstruksikan baik dalam aspek pidana maupun perdata atau perbuatan melawan aturan (tort).

Yang kalau di Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer/ BW) dan Pasal 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer/ BW).

Tetapi kecenderungan mengarahkan penghinaan pada peradilan pidana agak memudar, yang lebih disukai masyarakat dalam tradisi anglo saxon ialah somasi perdata/perbuatan melawan hukum.

Adalah sangat penting untuk mendapat batasan yang meskipun tidak sepenuhnya sanggup diterima oleh semua kalangan tetapi setidaknya sanggup dijadikan sebagai patokan atau referensi dalam beracara di Pengadilan.

Salah satu pendapat yang patut dicermati ialah bahwa suatu kehormatan insan diserang atau dihina dalam aspek sopan santun atau kesusilaan (Zedelijke waarde).

Bicara hal ini berdasarkan penulis aspek sopan santun atau kesusilaan sangat tergantung pada budaya atau kebiasaan dalam masyarakat awam serta tingkat kedekatan personal antar pihak yang terkait.

Baca: Ne Bis In Idem

Makara unsur budaya lokal serta kearifan lokal cukup memilih untuk sanggup menyatakan suatu perbuatan termasuk penyerangan terhadap kehormatan insan atau tidak.

Misalnya kalau Penulis sanggup memperlihatkan pola bahwa kalau orang-orang Amerika dan Eropa ketika berjemur dipantai dengan memakai bikini maka itu hal yang biasa bagi mereka dan itu sopan .

Kalau kita di Indonesia berpakaian ibarat itu tidak sopan, begitu juga dengan pakaian perempuan orang India yang menampakkan pusarnya ialah sopan bagi mereka tetapi bagi kita itu juga tidak sopan begitu juga sama halnya dengan penyerangan terhadap kehormatan insan atau tidak;

Ancaman Pidana Penghinaan dalam KUHP


Perbuatan Penghinaan, Menista atau Memfitnah berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) dan bahaya pidananya.

Didalam aturan positif Indonesia - Sistem Hukum di Indonesia, Kejahatan penghinaan oleh Adami Chazawi dibedakan menjadi:

  • Penghinaan umum (diatur dalam cuilan XVI buku II KUHP)
  • Penghinaan khusus (tersebar diluar cuilan XVI buku II KUHP).

Objek penghinaan umum ialah berupa rasa harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan mengenai nama baik orang pribadi (bersifat pribadi).

Sebaliknya penghinaan khusus, objek penghinaan ialah rasa/perasaan harga diri atau martabat mengenai kehormatan dan nama baik yang bersifat komunal atau kelompok.

Ada tujuh macam Penghinaan yang masuk didalam kelompok Penghinaan Umum, Namun disini Penulis hanya membahas mengenai Penghinaan Umum yang dikualifisir dalam Pasal 310 ayat 1 KUHP, Pasal 310 ayat 2 (KUHP) serta Pasal 311 kitab undang-undang hukum pidana wacana Fitnah:

A. Pasal 310 ayat (1) KUHP 


Menyatakan: “Barangsiapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu perbuatan, yang maksudnya terperinci supaya hal itu diketahui umum, diancam lantaran pencemaran dengan pidana penjara paling usang sembilan bulan atau pidana denda paling banyak Rp 4.500,-”.

Perbuatan menyerang (aanranden), tidaklah bersifat fisik, lantaran terhadap apa yang diserang (objeknya) memang bukan fisik tapi perasaan mengenai kehormatan dan perasaan mengenai nama baik orang.

Baca: UU Perlindungan Anak dan Beberapa Perubahannya

Objek yang diserang ialah rasa/perasaan harga diri mengenai kehormatan (eer), dan rasa/perasaan harga diri mengenai nama baik (goedennaam) orang.

Rasa harga diri ialah pada dasarnya objek dari setiap  penghinaan, yang berdasarkan Wirjono Projodikoro ialah menjadikan ukuran dari penghinaan.

Rasa harga diri dalam penghinaan ialah rasa harga diri dibidang kehormatan, dan rasa harga diri di bidang nama baik.

Makara yang dituduhkan si pembuat haruslah merupakan perbuatan tertentu, dan bukan hal lain contohnya menyebut seseorang dengan kata-kata yang tidak sopan, ibarat bodoh, malas, anjing kurapan dan lain sebagainya (karena ini bentuk kata sifat bukan perbuatan) dan penghinaan itu supaya diketahui oleh umum artinya ada orang yang mengetahui perbuatan tersebut dilakukan contohnya si A menghina si B didepan si C atau si D

B. Pasal 310 ayat (2) KUHP 


Menyatakan: “Jika hal itu dilakukan dengan goresan pena atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempel secara terbuka, diancam lantaran pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling usang satu tahun empat bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”

Unsur-unsur di atas yang secara kumulatif mengandung sifat yang memberatkan pidana si pembuat.

Sifat pencemaran melalui benda ttulisan dinilai oleh pembentuk undang-undang sebagai faktor memperberat.

Karena dari benda tulisan, isi perbuatan yang dituduhkan yang sifatnya mencemarkan, sanggup meluas sedemikian rupa dan dalam jangka waktu yang usang (selama goresan pena itu ada dan tidak dimusnahkan).

Sifat yang demikian amat berbeda dengan sifat pencemaran secara lisan. Oleh alasannya ialah itu masuk akal saja pencemaran dengan goresan pena ini dipidana yang lebih berat dari pada pencemaran lisan.

Pencemaran dilakukan dengan memakai “tulisan dan gambar”.

Tulisan ialah hasil dari pekerjaan menulis baik dengan tangan maupun alat apapun yang wujudnya berupa rangkaian kata-kata/ kalimat dalam bahasa apapun yang isinya mengandung arti tertentu (in casu menyerang kehormatan dan nama baik orang), diatas sebuah kertas atau benda lainnya yang sifatnya sanggup ditulisi (misalnya: kertas, papan, kain dll).

Sedangkan gambar atau citra atau lukisan ialah tiruan dari benda yang dibentuk dengan coretan tangan melalui alat tulisan: pensil, kuas dan, dengan alat apapun di atas kertas atau benda lainnya yang sifatnya sanggup digambari/ditulisi.

Baca: Pengertian Bantuan Hukum

Gambar ini harus mengandung suatu makna yang sifatnya mencemarkan nama baik atau kehormatan orang tertentu (yang dituju).

Adapun dengan cara yang dilakukan yakni disiarkan, dipertunjukkan, atau ditempelkan secara terbuka.

Disiarkan (verspreiden), maksudnya ialah bahwa goresan pena atau gambar tersebut dibentuk dalam jumlah yang cukup banyak, sanggup dicetak atau di fotokopi yang kemudian disebarkan dengan cara apapun.

Misalnya diperjualbelikan, dikirim ke aneka macam pihak, atau dibagi-bagikan kepada siapapun (umum).

Oleh alasannya ialah itu verspreiden sanggup pula diterjemahkan dengan kata menyebarkan.

Dalam cara berbagi sekian banyak goresan pena atau gambar kepada khalayak ramai, telah nampak maksud si penyebar supaya isi goresan pena atau makna dalam gambar yang disiarkan, yang sifatnya penghinaan diketahui umum.

Dipertunjukkan (ten toon gesteld) ialah memperlihatkan goresan pena atau gambar yang isi atau maknanya menghina tadi kepda umum, sehingga orang banyak mengetahuinya.

Menunjukkan sanggup terjadi secara langsung.

Pada ketika memperlihatkan pada umum ketika itu banyak orang, tetapi sanggup juga secara tidak langsung.

Misalnya memasang spanduk yang isinya bersifat menghina di atas sebuah jalan raya, dilakukan pada ketika malam hari yang ketika itu tidak ada seorangpun yang melihatnya.

Sedangkan ditempelkan (aanslaan), maksudnya  ialah goresan pena atau gambar tersebut ditempelkan pada benda lain yang sifatnya sanggup ditempeli, contohnya papan, dinding gedung, pohon dan sebagainya.

C. Pasal 311 KUHP 


Menyatakan sebagai berikut: “Barangsiapa melaksanakan kejahatan menista atau menista dengan tulisan, dalam hal ia diizinkan untuk menerangkan tuduhannya itu, bila ia tiada sanggup menerangkan dan bila tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar, dieksekusi lantaran salah mefitnah dengan sanksi penjara selama-lamanya empat tahun”.

Pasal 311 kitab undang-undang hukum pidana ini disebut juga Fitnah, misalnya:

Si A menyampaikan kepada si B bahwa si B ialah seorang Penjaja Seks Komersil (PSK) didepan si C atau si D, si A sanggup dieksekusi telah melaksanakan fitnah apabila si A tidak sanggup menerangkan kepada Hakim bahwa si B ialah seorang PSK namun apabila si A sanggup menerangkan kepada Hakim bahwa si B ialah seorang PSK maka si A tidak sanggup dikatakan sebagai fitnah;

Baca: Pengertian Mengenai Putusan Pengadilan

Ancaman Pidana Pelaku Penghinaan dalam UU ITE


Perbuatan Penghinaan, Menista atau Memfitnah di Media Sosial ibarat di Blackberry Messenger (BBM), Facebook, WhatsApp, Instagram, YouTube, Twitter, Line dan sebagainya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 wacana Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan bahaya pidananya:

1. Pasal 27 ayat 3 UU ITE 


Menyatakan sebagai berikut: “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau menciptakan sanggup diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang mempunyai muatan penghinaan dan/ atau pencemaran nama baik”;

Pasal 27 ayat 3 UU ITE ini juga termuat unsur “yang mempunyai muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik” sebagaimana yang termuat juga didalam Pasal 310 ayat 1 dan 2 KUHP, sebagaimana yang telah Penulis uraikan diatas.

Hanya saja yang berbeda ialah cara mendistribusikan dan/ atau mentransmisikan dan/ atau menciptakan sanggup diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang berarti kaitannya dengan elektronik

2. Pasal 28 ayat 2 UU ITE 


Menyatakan sebagai berikut: “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak berbagi informasi yang ditujukan untuk menjadikan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA)”.

3. Pasal 45 ayat 1, ayat 2 UU ITE 


Menyatakan sebagai berikut: ayat 1 “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), ayat (2), ayat (3), atau ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling usang 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”,

Sedangkan ayat 2 menyatakan “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal, 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling usang 6 (enam) tahun dan/ atau denda paling  banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)”;

Perbedaan perbuatan menghina, menista atau memfitnah dengan mengkritik orang lain atau mengemukakan pendapat;

Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan memberikan informasi dengan memakai segala jenis saluran yang tersedia”

Ada perbedaan yang prinsip antara perbuatan menghina, menista atau memfitnah dengan mengkritik orang lain atau mengemukakan pendapat baik di media umum atau dimuka umum;

Kritik ialah segala bentuk opini mengenai suatu perbuatan yang dirasakan kurang tepat oleh pemikiran pihak lain.

Ada kritik konstruktif dan ada kritik destruktif.

Contoh kritik konstruktif: “Maaf ada baiknya membuang sampah jangan sembarangan, silahkan membuang sampah pada tempatnya, ini saya ada daerah sampah” ini pola kritik yang tepat lantaran ada solusi didalamnya.

Coba bandingkan dengan kalimat ini “hei..jangan buang sampah sembarangan, ibarat anjing saja, percuma sekolah tinggi-tinggi tapi kelakuan ibarat anjing” ini ialah pola kalimat kritik destruktif sekaligus memuat kata-kata penghinaan;

Prof. Andi Hamzah mengilustrasikan yaitu bila dirinya menyampaikan kepada seseorang “lebih baik kau pakai baju yang lain yang lebih bagus” berarti kritik.

Tetapi kalau dirinya menyampaikan “anda ini manis sekali, persis kera di Ragunan” hal itu berarti penghinaan, tergantung kata-katanya dan apa yang diucapkan satu persatu;

Prof. J.E Sahetapy menyampaikan kritik atau mengemukakan pendapat sangat dibolehkan apalagi demi kepentingan umum namun membutuhkan perhitungan dengan memperhatikan kultur (budaya);

Dari pendapat tersebut diatas bahwa, perbedaan menghina atau mengkritik tergantung kata-katanya dan apa yang diucapkan satu persatu, dan mengemukakan pendapat boleh-boleh saja lantaran dijamin oleh Undang-Undang Dasar 1945 namun harus tetap memperhatikan kultur (budaya) masyarakat Indonesia baik itu norma kepatutan maupun kesusilaan;

Selain itu pula dalam bicara dan mengemukakan pendapat hendaknya tetap memperhatikan ketentuan Pasal 28J ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa:

Ayat (1): “Setiap orang wajib menghormati hak asasi insan orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”,

Ayat (2) “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin akreditasi serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis”;

Baca: Pendekatan Restorative Justice

Kesimpulan

Bahwa kita sebagai insan hendaknya menjaga perbuatan dan bicara kita, baik itu verbal maupun tulisan, harus menjunjung tinggi kesopanan.

Baik dalam mengkritik maupun mengemukakan pendapat.

Bukankah kita dikatakan insan yang adil dan beradab sebagaimana dalam sila ke 2 Pancasila, yang berbunyi Kemanusiaan yang adil dan beradab.

Jangan hingga lantaran kita emosi atau kesal kita gampang mengeluarkan kata-kata/ goresan pena kotor, kata-kata/ goresan pena yang tidak sopan sehingga menyakiti perasaan orang lain.

Selain itu kita hendaknya sebijaksana mungkin dalam memakai media sosial, bijaksana dan cerdas dalam menciptakan pernyataan ataupun memposting gambar di media umum lantaran bahaya pidana yang tinggi sebagaimana dalam UU ITE.

Cukuplah Kasus Muhammad Arsyad dan Florence Sihombing menjadi pelajaran bagi kita semua. (RizalF)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel