Tentang Praperadilan Berdasarkan Kuhap Dan Ruu Kuhap
Praperadilan merupakan salah satu jelmaan dari Habeas Corpus sebagai prototype, yaitu sebagai wadah atau jalan dalam mengadukan atas adanya pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia) didalam suatu proses investigasi masalah pidana.(pendapat Andi Hamzah).
Undang-undang Nomor. 8 Tahun 1981 perihal Hukum Acara Pidana (KUHAP), mengatur perihal Praperadilan, khususnya Pasal 1 angka 10, Pasal 77 s/d Pasal 83, Pasal 95 ayat (2) dan ayat (5), Pasal 97 ayat (3), dan Pasal 124.
Pengadilan Negeri berwenang untuk menyidik dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:
a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang masalah pidananya dilarang pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
Praperadilan Menurut KUHAP dan RUU KUHAP
Dalam praktiknya, Praperadilan yang awalnya diproyeksikan sebagai sarana pengawasan untuk menguji keabsahan suatu upaya paksa (dwangmiddelen), dalam kurun waktu lebih dari tiga puluh tahun (sejak berlakunya KUHAP pada 1981), tentang penangkapan dan penahanan terhadap tersangka, sekarang dinilai hanya bersifat pengawasan administratif belaka.
Karena sah atau tidaknya penangkapan dan penahanan hanya cukup dibuktikan dengan menunjukkan ada atau tidaknya surat penangkapan/ penahanan secara formal saja oleh penegak hukum.
Sedangkan Penangguhan Penahanan yang merupakan Hak dari Tersangka/ Terdakwa, sering kali diabaikan oleh pegawanegeri penegak hukum, yang hanya mengedepankan syarat subjektif penahanan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yaitu adanya “Kekhawatiran” dari Penegak Hukum bahwa tersangka/ terdakwa akan melarikan diri, merusak/ menghilangkan barang bukti dan/ atau mengulangi perbuatan."
Akibatnya kekuasaan melaksanakan penahanan seringkali disalahgunakan oleh oknum penegak aturan (abuse of power).
Akibatnya kekuasaan melaksanakan penahanan seringkali disalahgunakan oleh oknum penegak aturan (abuse of power).
Kondisi ini melahirkan wacana dan anjuran biar kiprah dan fungsi Praperadilan diganti dengan Hakim Komisaris, yang sesuai dengan draf RUU KUHAP yang baru, yang ketika ini sedang dibahas di DPR, biar diberikan kewenangan yang jauh lebih luas dari pada Praperadilan.
Hakim Komisaris bantu-membantu bukanlah konsep gres dalam dunia penegakan aturan di Indonesia, sebelumnya Hakim Komisaris sudah ada pada ketika berlakunya Reglement op de Strafvoerdering (RV), namun sesudah berlakunya HIR, Hakim Komisaris dihapus atau ditiadakan.
Hakim Komisaris bantu-membantu bukanlah konsep gres dalam dunia penegakan aturan di Indonesia, sebelumnya Hakim Komisaris sudah ada pada ketika berlakunya Reglement op de Strafvoerdering (RV), namun sesudah berlakunya HIR, Hakim Komisaris dihapus atau ditiadakan.
Pada tahun 1974, ada wacana untuk memasukkan Hakim Komisaris dalam RUU KUHAP yang pertama, namun ada kontradiksi dari banyak sekali kalangan penegak hukum, alasannya ialah adanya kekhawatiran akan terganggunya kiprah penegak aturan menyerupai kejaksaan dan kepolisian pada ketika pemberlauan HIR (Herzien Indlandsch Reglement), sebelum KUHAP diundangkan sebagai karya terbesar dari Hukum Acara Pidana Indonesia.
Rancangan perihal Hakim Komisaris didalam Rancangan Undang-undang KUHAP yang baru, rmemasukkan antara lain:
- Kewenangan Hakim Komisaris secara tunggal (oleh alasannya ialah jabatannya/ex officio) untuk menilai sah atau tidaknya upaya paksa (dwangmiddelen) baik mengenai:
- penangkapan,
- penahanan,
- penggeledahan,
- penyitaan dan penyadapan,
- penangguhan penahanan bagi tersangka, dan lain-lain.
Hakim komisaris secara tunggal/ sanggup berdiri diatas kaki sendiri hanya menerima pengawasan dari Pengadilan Tinggi dalam menjalankan tugasnya yang terbilang cukup berat dan “tertutup” tersebut.
Bukan pengawasan dari publik sebagai sarana pengawasan umum, yang merupakan salah satu asas aturan program pidana yang menyatakan “Pengadilan terbuka untuk umum”.
Mencermati hal ini, akan sifat subjektifitas dari seorang Hakim Komisaris, yang menjalankan tugasnya tanpa pengawasan yang "terbuka", sebagaimana yang ada pada praperadilan Indonesia ketika ini, dikhawatirkan sanggup menjadi menyerupai apa kata pepatah yakni "Kekuasaan cenderung Korupsi, kekuasaan mutlak niscaya korupsi" (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely).
Mencermati hal ini, akan sifat subjektifitas dari seorang Hakim Komisaris, yang menjalankan tugasnya tanpa pengawasan yang "terbuka", sebagaimana yang ada pada praperadilan Indonesia ketika ini, dikhawatirkan sanggup menjadi menyerupai apa kata pepatah yakni "Kekuasaan cenderung Korupsi, kekuasaan mutlak niscaya korupsi" (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely).
Sebagaimana yang kita ketahui dan sudah disebutkan diatas, praperadilan ialah kewenangan Pengadilan Negeri untuk menyidik dan memutuskan masalah tentang:
a) Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas undangan tersangka atau keluarganya atau undangan yang berkepentingan demi tegaknya aturan dan keadilan;
b) Sah tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan atas undangan yang berkepentingan demi tegaknya aturan dan keadilan; dan
c) Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
a) Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas undangan tersangka atau keluarganya atau undangan yang berkepentingan demi tegaknya aturan dan keadilan;
b) Sah tidaknya Penghentian Penyidikan atau Penghentian Penuntutan atas undangan yang berkepentingan demi tegaknya aturan dan keadilan; dan
c) Permintaan ganti-rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
Upaya pra-peradilan bantu-membantu tidak hanya sebatas itu saja, alasannya ialah secara aturan ketentuan yang mengatur perihal pra-pradilan menyangkut juga perihal tuntutan ganti kerugian termasuk ganti kerugian tanggapan adanya “tindakan lain”.
Yang di dalam klarifikasi pasal 95 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa kerugian yang timbul tanggapan tindakan lain yaitu, kerugian yang timbul tanggapan pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah berdasarkan hukum.
Sehingga dengan demikian pra-peradilan secara lengkap diatur dalam pasal 1 butir 10 KUHAP Jo. Pasal 77 s/d 83 dan pasal 95 s/d 97 KUHAP, pasal 1 butir 16 Jo. Pasal 38 s/d 46, pasal 47 s/d 49 dan pasal 128 s/d 132 KUHAP.
Sehingga dengan demikian pra-peradilan secara lengkap diatur dalam pasal 1 butir 10 KUHAP Jo. Pasal 77 s/d 83 dan pasal 95 s/d 97 KUHAP, pasal 1 butir 16 Jo. Pasal 38 s/d 46, pasal 47 s/d 49 dan pasal 128 s/d 132 KUHAP.
Praperadilan tidak hanya menyangkut sah tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan, perihal undangan ganti-rugi atau rehabilitasi, namun sanggup juga dilakukan terhadap adanya kesalahan penyitaan yang tidak termasuk alat pembuktian, atau seseorang yang dikenakan tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang, alasannya ialah kekeliruan mengenai orangnya atau aturan yang diterapkan. (Vide: Keputusan Menkeh RI No.:M.01.PW.07.03 tahun 1982 ), atau tanggapan adanya tindakan lain yang menyebabkan kerugian sebagai tanggapan pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah berdasarkan hukum.
Selama ini kita mengenal pra-peradilan yang biasanya dilakukan oleh keluarga tersangka atau tersangka melalui kuasa hukumnya.
Yakni dengan cara menggugat atau melaksanakan permohonan Praperadilan terhadap pegawanegeri penegak aturan menyerupai pihak Kepolisian atau pihak Kejaksaan ke Pengadilan Negeri.
Yang substansi gugatannya biasanya mempersoalkan perihal sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan, perihal sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Praperadilan sesungguhnya secara aturan sanggup juga dilakukan pihak Kepolisian terhadap pihak Kejaksaan, begitu juga sebaliknya.
Pasal 77 hingga dengan pasal 83 KUHAP yang mengatur perihal Praperadilan tidak hanya menunjukkan hak kepada tersangka atau keluarganya untuk mem praperadilankan Kepolisian dan Kejaksaan, namun pasal itu juga memberi hak kepada kejaksaan untuk mem praperadilankan Kepolisian dan memberi hak kepada Kepolisian untuk mempraperadilankan Kejaksaan.
Praperadilan ialah merupakan hal yang biasa dalam membangun dan membuat saling kontrol antara penegak hukum.
Praperadilan ialah merupakan hal yang biasa dalam membangun dan membuat saling kontrol antara penegak hukum.
Dalam perjuangan menegakkan supremasi aturan didalam suatu negara hukum, suatu forum kontrol yang independen sangat diperlukan, yang salah satu tugasnya mengamati/ mencermati terhadap sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan atau sah tidaknya penghentian penyidikan atau sah tidaknya alasan penghentian penuntutan suatu masalah pidana baik itu dilakukan secara resmi dengan mengeluarkan SP3 atau SKPPP (Devonering), apalagi yang dilakukan secara diam-diam.
Selain itu, juga diharapkan biar pihak Kepolisian sanggup mengontrol kinerja Kejaksaan apakah masalah yang sudah dilimpahkan benar-benar diteruskan ke Pengadilan.
Selain itu, juga diharapkan biar pihak Kepolisian sanggup mengontrol kinerja Kejaksaan apakah masalah yang sudah dilimpahkan benar-benar diteruskan ke Pengadilan.
Begitu juga sebaliknya, pihak Kejaksaan diharapkan sanggup mengontrol kinerja Kepolisian di dalam proses penanganan masalah pidana apakah masalah yang sudah di SPDP (P.16) ke Kejaksaan akhirnya oleh penyidik masalah tersebut benar-benar dilimpahkan ke Kejaksaan atau malah berhenti secara diam-diam.
Sudah saatnya antara komponen penegak aturan saling membangun budaya saling kontrol, menyerupai Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat, biar kepastian aturan benar-benar sanggup diberikan bagi para pencari keadilan.
Sudah saatnya antara komponen penegak aturan saling membangun budaya saling kontrol, menyerupai Hakim, Jaksa, Polisi dan Advokat, biar kepastian aturan benar-benar sanggup diberikan bagi para pencari keadilan.
Sehingga tidak ada kekuasaan yang benar-benar mutlak yang kesudahannya sanggup menjadi forum yang paling korup. Karena "Kekuasaan cenderung Korupsi, kekuasaan mutlak niscaya korupsi" (power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely).