Penerapan Dan Jawaban Aturan Terhadap Peninjauan Kembali Oleh Jaksa Dalam Aturan Program Pidana

Dalam beberapa masalah peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa sanggup ditemui bahwa pengajuan peninjauan kembali berlandaskan pada adanya putusan Mahkamah Agung mengenai pengajuan peninjauan kembali oleh Jaksa.

 Dalam beberapa masalah peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa sanggup ditemui bahwa peng Penerapan dan Akibat Hukum Terhadap Peninjauan Kembali oleh Jaksa Dalam Hukum Acara Pidana

Walaupun hal tersebut tidak mempunyai dasar aturan yang niscaya lantaran aturan program pidana indonesia khususnya KUHAP tidak mengadopsi asas stare decisis atau asas preseden,

yang umumnya diadopsi di negara common law yang menyatakan putusan pengadilan yang terdahulu menjadi sumber aturan untuk memutus masalah berikutnya.

Tetapi hal ini dilakukan guna kepraktisan beracara, keseragaman putusan dan konsistensi putusan peradilan. 

Patutlah dipahami bahwa Indonesia mempunyai tradisi aturan kontinental yang mendasarkan hakim dalam memutus menurut perundang-undangan.

Namun dengan perkembangan pergaulan internasional (globalisasi) terjadi interaksi sistem aturan kontinental dengan Anglo Saxon.

Karenanya peranan putusan hakim juga memegang tugas penting dalam pembaharuan aturan nasional.

Penerapan dan Akibat Hukum Terhadap Peninjauan Kembali oleh Jaksa Dalam Hukum Acara Pidana


Dalam pandangan Mochtar Kusumaatmadja sekalipun sistem aturan Indonesia menitik beratkan pada perundang-undangan.

Namun juga mempunyai anutan bahwa tugas putusan pengadilan juga memegang tugas penting dalam pembaharuan hukum.

Karena pembaharuan yang teratur demikian sanggup dibantu oleh perundang-undangan atau keputusan pengadilan atau kombinasi dari kedua-duanya.

Oleh lantaran itu pentingnya tugas putusan pengadilan lantaran ada dua kemungkinan putusan hakim yaitu putusan pengadilan sebagai aturan in concreto atau putusan pengadilan menjadi aturan yang in abstacto.

Dalam pelaksanaannya ada beberapa kriteria-kriteria suatu putusan pengadilan sanggup menjadi yurisprudensi yakni :

1. Putusan pengadilan sanggup diambil alih untuk pembentuk undang-undang

Aturan aturan yang lahir dari putusan hakim menjadi bahan muatan undang-undang. 

Apakah dengan demikian sifat aturan dari putusan hakim akan hilang? 

Sama sekali tidak. 

Namun disini akan berlaku prinsip preferensi yang wajib dipatuhi hakim, yaitu ketentuan bahwa undang-undang "prevail" terhadap aturan tidak tertulis, termasuk putusan hakim (diatur dalam undang-undang). 

Prinsip preferensi ini juga berlaku apabila ternyata undang-undang gres bertentangan atau mengatur secara berbeda putusan dengan putusan hakim. 

Perbedaan tersebut mengandung hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip yang diterima secara umum dalam masyarakat, bertentangan dengan ketertiban umum atau berisi alasan atau pertimbangan yang tidak atau kurang masuk kebijaksanaan atau kurang layak (unreasonable).

2. Putusan hakim diikuti dalam praktek hukum

Hal ini sangat dipengaruhi oleh tradisi aturan yang berbeda:

- Tradisi aturan common law/ anglo saxon yang diikuti sistem "precedent". 

Putusan hakim yaitu aturan yang mengikat/ binding law untuk kasus-kasus serupa dikemudian hari. 

Dengan demikian, putusan tersebut akan berlaku umum terhadap setiap orang yang menghadapi problem aturan yang serupa dengan putusan hakim yang bersangkutan. 

Kalau sudah berlaku pada setiap orang, berarti putusan ini telah berubah atau diterima sebagai kaidah umum, yang menjadi salah satu ciri dalam arti abstrak. 

Lebih jauh, menyerupai di Inggris, putusan-putusan tersebut bermetamorfosis "common law", semacam Hukum Adat di Indonesia. 

Di Indonesia, meskipun ada teori keputusan (beslissingen leer) Ter Haar, tidak pernah ada kepastian, benarkah Hukum Adat berasal dari putusan fungsionaris budpekerti (hakim adat), atau aturan yang semata-mata tumbuh dari pergaulan masyarakat yang lalu diterima sebagai hukum, menyerupai aturan kebiasaan pada tradisi aturan continental (common law acts).

Tradisi Sistem Hukum Kontinental. 

Pada asasnya, sistem aturan kontinental tidak menjalankan sistem precedent. 

Saat ini sistem precedent hanya berlaku untuk putusan Mahkamah Uni Eropa. 

Pengadilan anggota Uni Eropa wajib mengikuti putusan-putusan Mahkamah Uni Eropa. 

Untuk hal-hal lain, kekuatan mengikat putusan hakim hanya mengikat secara persuasive (non binding) terhadap masalah serupa yang tiba kemudian. 

Namun dalam praktek, telah menjadi kelaziman bahwa hakim, terutama hakim tingkat lebih rendah, mengikuti putusan terdahulu dari tubuh peradilan tingkat lebih tinggi, terutama Mahkamah Agung.
Terhadap klarifikasi dan pengertian yurisprudensi diatas harusnya dipahami secara terbatas.

Hal ini berkaitan dengan adanya batasan dari asas stare decies et non quieta movere tersebut bukan hanya berpijak untuk guna kepraktisan beracara, keseragaman putusan dan konsistensi putusan peradilan saja.

Tetapi apakah lalu putusan-putusan tersebut benar-benar menurut asas-asas aturan dan prinsip-prinsip aturan yang berlaku. 

Atau kondisi sebaliknya putusan tersebut justru mengabaikan asas dan prinsip aturan yang berlaku sehingga putusan tersebut tidak mencerminkan aspek keadilan yang tidak tumbuh bersama dalam realitas kesadaran aturan itu sendiri.

Putusan pengadilan sebagaimana digambarkan diatas, hanya didasarkan pada kebenaran yang bersifat mekanis (fidelity to objective reality).

Yakni : adanya kesesuaian antara pernyataan ihwal fakta atau pertimbangan (judgement) dengan situasi yang dilukiskan oleh pertimbangan itu. 

Kondisi ini menjadi perhatian seorang pakar aturan yakni Oliver Wendell Holmes mengemukakan perlunya pertimbangan kebenaran faktual (korespondensi) dari suatu putusan hakim.

Fakta ini tentu saja menarik untuk dianalisa.

Apakah lalu putusan yang dijadikan dasar untuk pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa merupakan yurisprudensi pengadilan yang memang sesuai dengan kaidah dan prinsip hukum?

Apakah lalu putusan tersebut telah memenuhi unsur rule of law? 

Hal tersebut tentunya bertolak belakang dengan kondisi yang sebenarnya.

Bahwa dalam penerapannya justru pengajuan peninjauan kembali oleh jaksa tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip dan kaidah KUHAP

Maka dengan sendirinya putusan pengadilan yang menyidik dan menjatuhkan eksekusi atas masalah tersebut merupakan bukan putusan yang adil dan tidak sesuai dengan rule of law. 

Pertanyaan besarnya lalu apakah putusan yang bertentangan dengan prinsip dan kaidah aturan sanggup menjadi yurisprudensi?

Tentu saja tidak, lantaran putusan yang tidak adil yaitu aturan yang jelek dan bukan hukum.

Realitas aturan ini merupakan ciri khas dari penerapan aturan itu sendiri.

Gejala ini umum dikenal sebagai logical fallacy atau kesesatan logika/ sesat pikir dalam penerapan hukum.

Sumaryono menunjukkan pengertian sesat berfikir sebagai proses daypikir atau argumentasi yang sebetulnya tidak logis, salah arah dan menyesatkan, suatu tanda-tanda berfikir yang salah yang disebabkan oleh pemaksaan prinsip-prinsip nalar tanpa relevansinya. 

Surajiyo lebih sempurna lagi menunjukkan pengertian sebagai kesesatan daypikir sanggup terjadi pada siapa saja.

Bukan lantaran kesesatan terhadap fakta-fakta saja tetapi dari bentuk penarikan kesimpulan yang sesat lantaran tidak dari premis-premis yang menjadi acuannya.

Jelaslah bahwa penerapan peninjauan kembali oleh Jaksa merupakan langkah yang keliru dan mengarah pada sesat nalar dalam penerapan aturan program pidana di Indonesia.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel